24.6.08

el Ritmo de la Vida 1


Awal mulanya aku tidak tahu kenapa aku harus kuliah di sebuah universitas terkemuka di Bandung, yang katanya paling murah, itu dulu lho waktu jaman aku pertama kali masuk, sekarang universitasku setara mahal dengan universitas-universitas swasta keren lain ‘yang fasilitasnya lebih nampol’. Aku masuk fakulatas sastra, dari nama fakultasnya saja aku langsung pesimis dengan rencana masa depan, apalagi kalo ditanya “kamu kuliah masuk jurusan apa, dek?” sudah jelas dengan wajah yang langsung sink down, dan jawaban dengan nada tekanan menurun, dan dengan segala hinaan, bahkan ancaman datang bertubi-tubi. Huh...
Aller Anfang ist schwer! Itulah peribahasa yang pertama kudapat di jurusanku, sastra Jerman, aku lebih senang dengan sebutan Germanistik. Peribahasa ini mengingatkanku akan semua yang terjadi di awal kuliah, awal belajar bahasa Jerman dan awal hidup dengan kepalan tangan sendiri, ich lebe auf eigenen Faust, tapii sama seperti kebanyakan mahasiswa lainnya, walaupun selbstständig, tetap saja pengertian ini mengalami perubahan perspektif bagi orang Indonesia, singkatnya aku masih elternabhängig, atau bahkan elternsuchtig, Cuma pindah tempat tidur doang.
Untuk apa belajar bahasa Jerman, budaya Jerman atau karya karya sastranya, Aller Anfang ist schwer itu jelas total salah bagiku. Ya, Apalagi sekarang aku bisa merasakan bahwa awal (Anfang) belajar bahasa Jerman itu lebih ringan dari pada pembelajaran yang kurasakan di semester-semerter akhir ini. Depresi dan stres tingkat tinggi benar-benar kurasakan dari ujung kuku kakiku sampe ujung rambut tepat di atas ubun-ubunku. Bahkan dalam teori literatur yang kupelajari juga bahwa Anfang eines Märchen ist ganz und gar einfach, es besteht aus drei Wörter: es war einmal ... . Di sini jelas banget bahwa yang namanya Anfang itu lebih mudah dibanding tengah-tengah. Justru yang lebih susah adalah pertengahannya, bagaimana kita bisa memepertahankan semangat yang menggebu yang datang pas pertama kali kuliah. Mungkin ungkapan yang lebih tepat untuk sesuatu yang berhubungan dengan Anfang adalah “fang an, überwinde dich!” inilah yang membuat air mataku mengalir untuk bisa bangkit dari kemalasan untuk mulai melakukan segala sesuatu.
Narsismus jurusan merasuki ideologiku, yang dulu di sma dalam pelajaran PPKN bahwa kita harus cinta tanah air, patriot dan nasionalis. Semua itu pudar! Yang ada dibenak hanyalah Deutschland, Deutschland überalles! Percaya atau tidak, semua benda yang kumiliki harus menapakkan rasa “kejermanan”. Pin bendera Jerman, pulpen dan pensil merek staedler made in Germany, Adidas, gelang bendera jerman, gantungan kuci bendera Jerman, baju gambar bedera jerman, semuanya tentang jerman. Bahkan pernah terniang, kira-kira aku pantas ga ya kalo jadi orang jerman. Di jurusan inilah aku mulai mengenal yang disebut dengan multikurturalismus dan intrakulturelle Kommunikation yang mungkin tak akan pernah kudapatkan kalau aku kuliah di fakultas lain. Di sinilah kumulai memahami betapa agungnya kebudayaanku, dan ternyata hanya di tanah airlah aku mendapat ketenangan, di mana lagi kita bisa menikmati budaya tawar menawarkan makanan, di mana lagi kita bisa tertawa lepas di saat matahari menyengat di saat orang-orang hanya ingin memikirkan dirinya sendiri, di mana lagi kita mendapat sambutan hangat dan toleransi yang berlebihan tanpa memikirkan keuntung komersial semata, semua itu hanya bisa kita rasakan di sini, di tanah air. Belum lagi musim dan iklim selalu bersahabat, gunung-gunung hijau sepanjang tahun, musim semi yang bisa kita rasakan setiap hari, matahari hangat yang mencoklatkan kulit, boleh dibilang bahwa kulit kita adalah kulit paling bagus sedunia, tidak terlalu putih, tidak hitam pekat, atau kuning apalagi merah. Dan di fakultas ini pula aku menyadari betapa pentingnya memahami budaya asing, seperti yang tertulis dalam kaos jurusanku dengan motif kembang semanggi fremdverstehen = selbstkritisieren. Bahkan Goethe pun pernah mengatakann bahwa mempelajari bahasa asing berarti mempelajari bahasa sendiri. Kurang nasionalis apa coba, kita sebagai mahasiswa yang belajar bahasa dan sastra asing?
Jujur, pernah aku sempat kecewa dengan semua yang kujalani ini, termasuk kuliah di fakultas satra jurusan Jerman. Fasilitasnya kurang lengkap, dosen yang kurang berkualitas, tinggal di daerah yang jauh dari peradaban (Jatinangor) dan semua keluhan yang tak bisa habis diungkapkan. Bahkan sering meratapi kenapa aku tidak lulus pilihan pertama dalam spmb. Sang guru dalam filmnya kunfu panda berkata “there are no accidents”, benar! tak ada yang kebetulan di dunia ini, semua yang terjadi adalah sesuai dengan kehendak sang pencipta. I belief in destination, dan inilah aku yang tercipta untuk mengisi dunia ini sebagai aku, bukan orang lain, bukan seorang dokter yang diidamkan ibuku, bukan seorang sarjana politik yang dulu diidamkan bapakku. Tapi hanya seorang lulusan sastra Jerman dengan sejuta harapan bisa membahagiakan orang tua dengan tanganku sendiri. Viele Wege führen nach Rom. Masih banyak cara untuk membahagiakan orang yang telah melahirkan kita ke dunia dan orang yang merelakan keringat dan jerih payahnya demi seporsi makanan yang kita nikmati setiap hari.
Aku bangga menghabiskan waktuku untuk mempelajari budaya, bahasa dan sastra asing karena dengan ini aku bisa melihat sisi-sisi lain dari kehidupan yang sebelumnya tak pernah kuduga, bahwa kehidupan orang lain itu ada, bahwa andere Länder andere Sitten itu nyata, bahwa Tuhan menciptakan bahasa dan budaya manusia itu berbeda-beda bukan semata untuk saling mengenal, tapi juga untuk menciptakan adanya perdamaian melalui saling memahami antar bangsa... tapi untuk semua itu kita butuh “erwartene” Gemeinschaft dan waktu, Roma non fuit una die condita...
Das ist der Rhythmus meines Lebens (el ritmo de la vida), und deiner?

2 Kommentare:

nurita hat gesagt…

iya de..mahal..
entah kenapa bukan hanya mahal, tapi juga memanas..
panas jatinangor bikin menggila.
viel erfolg!

lucky hat gesagt…

wahh...bahasanya campur2 nich, kayaknya ada bahasa yang ga gw kenal tuh...
memang benar semua itu, tapi kembali lagi itulah hidup yang harus dijalani semua manusia, karena itulah hidup itu unik. mungkin semua ini sudah merupakan takdir karena kita tidak tahu kapan dan dimana takdir itu akan berakhir...yang bisa manusia lakukan hanyalah menjalani hidup ini dengan segenap keyakinan dan sebuah usaha untuk maju ke depan tanpa menoleh lagi kebelakang...