24.6.08


Die Sklaven von heute werden nicht mit Peitschen, sondern mit Terminkalendern angetrieben.
(John Steinbeck, 1902-1968, US-amerikanischer Schriftsteller, Literaturnobelpreis 1962)

el Ritmo de la Vida 1


Awal mulanya aku tidak tahu kenapa aku harus kuliah di sebuah universitas terkemuka di Bandung, yang katanya paling murah, itu dulu lho waktu jaman aku pertama kali masuk, sekarang universitasku setara mahal dengan universitas-universitas swasta keren lain ‘yang fasilitasnya lebih nampol’. Aku masuk fakulatas sastra, dari nama fakultasnya saja aku langsung pesimis dengan rencana masa depan, apalagi kalo ditanya “kamu kuliah masuk jurusan apa, dek?” sudah jelas dengan wajah yang langsung sink down, dan jawaban dengan nada tekanan menurun, dan dengan segala hinaan, bahkan ancaman datang bertubi-tubi. Huh...
Aller Anfang ist schwer! Itulah peribahasa yang pertama kudapat di jurusanku, sastra Jerman, aku lebih senang dengan sebutan Germanistik. Peribahasa ini mengingatkanku akan semua yang terjadi di awal kuliah, awal belajar bahasa Jerman dan awal hidup dengan kepalan tangan sendiri, ich lebe auf eigenen Faust, tapii sama seperti kebanyakan mahasiswa lainnya, walaupun selbstständig, tetap saja pengertian ini mengalami perubahan perspektif bagi orang Indonesia, singkatnya aku masih elternabhängig, atau bahkan elternsuchtig, Cuma pindah tempat tidur doang.
Untuk apa belajar bahasa Jerman, budaya Jerman atau karya karya sastranya, Aller Anfang ist schwer itu jelas total salah bagiku. Ya, Apalagi sekarang aku bisa merasakan bahwa awal (Anfang) belajar bahasa Jerman itu lebih ringan dari pada pembelajaran yang kurasakan di semester-semerter akhir ini. Depresi dan stres tingkat tinggi benar-benar kurasakan dari ujung kuku kakiku sampe ujung rambut tepat di atas ubun-ubunku. Bahkan dalam teori literatur yang kupelajari juga bahwa Anfang eines Märchen ist ganz und gar einfach, es besteht aus drei Wörter: es war einmal ... . Di sini jelas banget bahwa yang namanya Anfang itu lebih mudah dibanding tengah-tengah. Justru yang lebih susah adalah pertengahannya, bagaimana kita bisa memepertahankan semangat yang menggebu yang datang pas pertama kali kuliah. Mungkin ungkapan yang lebih tepat untuk sesuatu yang berhubungan dengan Anfang adalah “fang an, überwinde dich!” inilah yang membuat air mataku mengalir untuk bisa bangkit dari kemalasan untuk mulai melakukan segala sesuatu.
Narsismus jurusan merasuki ideologiku, yang dulu di sma dalam pelajaran PPKN bahwa kita harus cinta tanah air, patriot dan nasionalis. Semua itu pudar! Yang ada dibenak hanyalah Deutschland, Deutschland überalles! Percaya atau tidak, semua benda yang kumiliki harus menapakkan rasa “kejermanan”. Pin bendera Jerman, pulpen dan pensil merek staedler made in Germany, Adidas, gelang bendera jerman, gantungan kuci bendera Jerman, baju gambar bedera jerman, semuanya tentang jerman. Bahkan pernah terniang, kira-kira aku pantas ga ya kalo jadi orang jerman. Di jurusan inilah aku mulai mengenal yang disebut dengan multikurturalismus dan intrakulturelle Kommunikation yang mungkin tak akan pernah kudapatkan kalau aku kuliah di fakultas lain. Di sinilah kumulai memahami betapa agungnya kebudayaanku, dan ternyata hanya di tanah airlah aku mendapat ketenangan, di mana lagi kita bisa menikmati budaya tawar menawarkan makanan, di mana lagi kita bisa tertawa lepas di saat matahari menyengat di saat orang-orang hanya ingin memikirkan dirinya sendiri, di mana lagi kita mendapat sambutan hangat dan toleransi yang berlebihan tanpa memikirkan keuntung komersial semata, semua itu hanya bisa kita rasakan di sini, di tanah air. Belum lagi musim dan iklim selalu bersahabat, gunung-gunung hijau sepanjang tahun, musim semi yang bisa kita rasakan setiap hari, matahari hangat yang mencoklatkan kulit, boleh dibilang bahwa kulit kita adalah kulit paling bagus sedunia, tidak terlalu putih, tidak hitam pekat, atau kuning apalagi merah. Dan di fakultas ini pula aku menyadari betapa pentingnya memahami budaya asing, seperti yang tertulis dalam kaos jurusanku dengan motif kembang semanggi fremdverstehen = selbstkritisieren. Bahkan Goethe pun pernah mengatakann bahwa mempelajari bahasa asing berarti mempelajari bahasa sendiri. Kurang nasionalis apa coba, kita sebagai mahasiswa yang belajar bahasa dan sastra asing?
Jujur, pernah aku sempat kecewa dengan semua yang kujalani ini, termasuk kuliah di fakultas satra jurusan Jerman. Fasilitasnya kurang lengkap, dosen yang kurang berkualitas, tinggal di daerah yang jauh dari peradaban (Jatinangor) dan semua keluhan yang tak bisa habis diungkapkan. Bahkan sering meratapi kenapa aku tidak lulus pilihan pertama dalam spmb. Sang guru dalam filmnya kunfu panda berkata “there are no accidents”, benar! tak ada yang kebetulan di dunia ini, semua yang terjadi adalah sesuai dengan kehendak sang pencipta. I belief in destination, dan inilah aku yang tercipta untuk mengisi dunia ini sebagai aku, bukan orang lain, bukan seorang dokter yang diidamkan ibuku, bukan seorang sarjana politik yang dulu diidamkan bapakku. Tapi hanya seorang lulusan sastra Jerman dengan sejuta harapan bisa membahagiakan orang tua dengan tanganku sendiri. Viele Wege führen nach Rom. Masih banyak cara untuk membahagiakan orang yang telah melahirkan kita ke dunia dan orang yang merelakan keringat dan jerih payahnya demi seporsi makanan yang kita nikmati setiap hari.
Aku bangga menghabiskan waktuku untuk mempelajari budaya, bahasa dan sastra asing karena dengan ini aku bisa melihat sisi-sisi lain dari kehidupan yang sebelumnya tak pernah kuduga, bahwa kehidupan orang lain itu ada, bahwa andere Länder andere Sitten itu nyata, bahwa Tuhan menciptakan bahasa dan budaya manusia itu berbeda-beda bukan semata untuk saling mengenal, tapi juga untuk menciptakan adanya perdamaian melalui saling memahami antar bangsa... tapi untuk semua itu kita butuh “erwartene” Gemeinschaft dan waktu, Roma non fuit una die condita...
Das ist der Rhythmus meines Lebens (el ritmo de la vida), und deiner?

als ich mich selbst zu lieben, begann

Als ich mich selbst zu lieben, begann

als ich mich selbst zu lieben, begann
habe ich verstanden, dass ich immer und bei jeder Gelegenheit
zur richtigen Zeit am richtigen Ort bin,
und alles, was geschieht, richtig ist –
von da an konnte ich ruhig sein
heute weiß ich: das nennt man „Vertrauen“

als ich mich selbst zu lieben, begann
konnte ich erkennen, dass emotionaler Schmerz und Leid …
nur Warnung für mich sind
gegen meine eigene Wahrheit zu leben
heute weiß ich: das nennt man „Autentischsein“

als ich mich selbst zu lieben, begann
habe ich gehört, mich nach einem anderen Leben zu sehnen
und konnte sehen, dass alles um mich herum eine Aufforderung
zum Wachsen war
heute weiß ich: das nennt man „Reife“

als ich mich selbst zu lieben, begann
habe ich aufgehört, mich meiner freien Zeit zu berauben
und ich habe aufgehört, weiter grandlose Projekte für die Zukunft zu entwerfen
heute mache ich nur das, was mir Spaß und Freude macht,
was ich liebe und was mein Herz zum Lachen bringt,
auf meine einege Art und Weise und in meinem Tempo
heute weiß ich, das nennt man „Ehrlichkeit“

als ich mich selbst zu lieben, begann
habe ich mich vorallem befreit, was nicht gesund für mich war, von Speisen, Menschen, Dingen, Situationen und vorallem,
das mich immer wieder hinunterzog, weg von mir selbst
anfangs nannte ich das „gesunden Egoismus“
aber heute weiß ich, das ist „Selbstliebe“

als ich mich selbst zu lieben, begann
habe ich aufgehört, immer recht haben zu wollen,
so habe ich mich weniger geiirt.
Heute habe ich erkannt: das nennt man „Demut“

als ich mich selbst zu lieben, begann
habe ich mich verweigert, weiter in der Vergangenheit zu leben
und mich um meine Zukunft zu sorgen
jetzt lebe ich nur noch in diesem Augenblick, wo alles stattfindet
so lebe ich heute jeden Tag und nenne es „Bewusstheit“

als ich mich selbst zu lieben, begann
da erkannte ich, dass mich mein Denken armselig und krank machen kann
als ich jedoch meine Herzenskräfte anforderte,
bekam der Verstand einen wichtigen Partner
diese Verbindung nenne ich heute „Herzenweisheit“
wir brauchen uns nicht weiter vor Auseindersetzungen,
Konflikten und Problemen mit uns selbst und anderen fürchten,
denn sogar die Sterne krallen manchmal euseinander und
es entstehen neuen Welten
heute weiß ich: das ist das Leben!


Puisi ini ditemukan di sebuah bloger dalam website brigitte.de, maaf aku lupa untuk mengingat nama pemilik bloger ini. Dengan judul als ich mich selbst zu lieben, begann, puisi ini menjadi sebuah sorotan utama pandanganku dan bait per bait dari puisi ini mengalir di mataku, aku benar-benar terpukau dengan deretan kata yang memiliki makna terdalam dalam hidupku selama ini, oh lebay banget ya. Tapi jujur, pertama kubaca puisi ini aku langsung mengerti tentang apa puisi ini bercerita. Ya, sebuah kisah klasik dalam adegan perwayangan kehidupan, mencari jati diri dan memahami kehidupan. Itulah tema utamanya.
Piuisi yang berdelapan bait yang masing-masing tersusun secara deduktif ini terlalu jelas untuk dipahami. Tiada rima maupun matriks yang begitu teratur dan hal ini menjadikan puisi tersebut termasuk ke dalam sebuah puisi jenis modern. Setiap kata tertuang tanpa aturan-aturan kesusastraan jaman-jaman terdahulu dan lebih banyak menggunakan kata-kata yang bersahabat, artinya jauh dari bahasa “kriting” yang biasa digunakan oleh Johann Wolfgang von Goethe, Fontane, Schiller ataupun pujangga-pujangga abad 18.
Hanya Eufimisme muncul dalam setiap baris pertama pada bait-baitnya, dan muncul dalam beberapa baris terakhir dengan kalimat heute weiß ich, das nennt man ... .
Kejelasan kata yang digunakan “sang pencipta” menunjukan bahwa permainan kata bukanlah tujuan utamanya namun makna tersirat yang harus tersampaikan secara mutlak kepada para pembaca adalah titik merah yang patut direnungkan.
Kehidupan orang lain memang sulit kita tebak, atau bahkan apa yang kita rasakan sebenarnya membuat kita sendiri penasaran, apakah orang lain juga merasakannya? Apakah apa yang ada dalam benak kita itu sama dengan apa yang ada dalam benak orang lain? Pertanyaan ini mungkin bisa terjawab dengan sebongkah puisi ini.
Puisi ini menggambarkan beberapa gejolak jiwa yang benar-benar mempengaruhi kehidupannya, dan gejolak jiwa ini menjadi sesuatu yang bersifat kontrastif untuk kelangsungan hidupnya yang lebih baik.

dass emotionaler Schmerz und Leid …
nur Warnung für mich sind
gegen meine eigene Wahrheit zu leben



bahwa rasa marah dan rasa sedih …
Hanyalah cambuk bagiku
Yang mengingatkanku tuk hidup di dunia nyata ini


Dalam penggalan puisi di atas tampak bahwa amarah dan kesediah yang dulu ia (penulis puisi) rasakan sebagai sesuatu yang berdampak negatif, kini disadarinya bahwa amarah dan rasa sedih bisa juga dijadikan sebagai cambuk pengingat, ini memiliki makna yang posisif.

habe ich gehört, mich nach einem anderen Leben zu sehnen
und konnte sehen, dass alles um mich herum eine Aufforderung
zum Wachsen war


Cukuplah sudah keinginan tuk bisa menjadi orang lain
Aku bisa melihat
Bahwa semua yang ada di sekitarku membawaku tuk berpikir dewasa

Hasrat yang dimiliki untuk menjadi seperti orang lain tanpak jelas mempengaruhi hidupnya. Keadaran membawanya ke dalam kebenaran bahwa, segala yang ada disekelilingnya bukan menjadikan ia untuk menjadi seperti orang disekelilingnya itu, namun menjadikannya dewasa. Dalam hal ini bisa menjadi diri sendiri. Begitu pula dengan bait-bait selanjutnya.
Makna utama dalam puisi ini tergores dalam bait terakhir, yakni memahami diri sendiri berarti memahami kehidupan, baik kehidupan sendiri atau pun kehidupan sosial. Makna itu tertuang dalan sebuah perumpamaan yang begitu logis:

wir brauchen uns nicht weiter vor Auseindersetzungen,
Konflikten und Problemen mit uns selbst und anderen fürchten,
denn sogar die Sterne krallen manchmal euseinander und
es entstehen neuen Welten
heute weiß ich: das ist das Leben!

kita tak perlu takut lagi akan perselisihan, konflik dan permasalahan
baik antara kita sendiri ataupun dengan orang lain
karena toh bintang-bintang pun terkadang saling bertubrukan
dan menciptakan dunia baru
kini kutahu itulah yang disebut dengan “KEHIDUPAN”

perumpamaan yang digunakan di sini adalah mengumpamakan kehidupan sosial manusia dengan bintang-bintang yang saling bertubrukan. Dan dalam hal ini terungkap bahwa permasalahan yang terjadi dalam hidup kita adalah sewajarnya hadir memenuhi kehidupan. Tanpa adanya masalah, hidup bukanlah hidup.

Untaian bait yang tertuang dalam puisi ini sebenarnya menggambarkan kehidupan setiap manusia, termasuk gambaran kehidupan kita sendiri. Kita tidak biasa lepas dari hasrat dan sifat manusiawi.

Beberpa hasrat dan sifat manusiawi yang tertuang yakni:
1. keraguan dalam menjalani hidup
2. marah dan sedih
3. keinginan untuk bisa menjadi orang lain
4. membuang-buang waktu
5. acuh akan masa depan
6. terlena dengan kehidupan
7. egois
8. merasa paling benar
9. mengidamkan kembali ke masa lalu
10. dan selalu berkhayal untuk sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

Hasrat dan sifat manusiawi di atas merupakan beberapa contoh sifat dan keinginan yang ada dalam benak setiap insan di dunia, tak bisa kita pungkiri bahwa kita adalah termasuk manusia seperti itu.
Dari kesimpulan di atas jelas bahwa setiap manusia pada dasarnya memiki sifat buruk yang sama dan apa yang kita pikirkan (inginkan), orang lainpun memikirkannya (menginginkannya). Dan setiap manusia memiliki kesalahan, permasalahan dan rasa keterpurukan. Tapi seperti pepatah mengatakan Irren ist menschlich, niemand ist perfekt! Kesempurnaan manusia tidak bisa diukur dari tindak-tanduknya dalam menjalani kehidupannya, namun dari hari yang tulus untuk bisa menerima bahwa seperti inilah hidup dan mencoba untuk mengubahnya lebih baik. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Dum spero, spiro! Während ich hoffe, schöpfe ich noch Atem.

Berikut terjemahan puisi di atas.

Ketika kumulai mencintai diriku sendiri

Ketika kumulai mencintai diriku sendiri
kumulai memahami bahwa aku selalu memiliki kesempatan
bahwa aku selalu berada dalam waktu yang tepat
dan aku berada di tempat yang tepat
bahwa semua yang terjadi itu nyata
di situlah kutemukan ketenangan
kini kutahu itulah yang kusebut dengan “keyakinan”

Ketika kumulai mencintai diriku sendiri
Kumulai memahami bahwa rasa marah dan rasa sedih
Merupakan cambuk bagiku
Yang mengingatkanku untuk hidup di dunia nyata ini
Kini kutahu itulah yang kusebut dengan “keotentisan”

Ketika kumulai mencintai diriku sendiri
Cukuplah sudah keinginan tuk bisa menjadi orang lain
Aku bisa melihat
Bahwa semua yang ada di sekitarku membawaku tuk berpikir dewasa
Kini kutahu itulah yang kusebut dengan “kedewasaan”

Ketika kumulai mencintai diriku sendiri
Cukuplah sudah untuk membuang-buang waktu percuma
Dan acuh akan rencana-rencana masa depan
Yang kulakukan sekarang hanyalah
Sesuatu yang membuat hatiku senang dan bahagia,
Sesuatu yang kusukai dan yang membuat hatiku tertawa lepas
Sesuatu yang kulakukan dengan kreativitasku dan dengan waktuku
Kini kutahu itulah yang kusebut dengan “kejujuran”

Ketika kumulai mencintai diriku sendiri
Telah kubebasakan diri dari segala hal yang membuatku tidak sehat,
dari makanan lezat, orang-orang, harta benda dan semua keaadaan
dan dari segala hal yang selalu menggodaku agar aku jauh dari diriku sendiri
awalnya kusebut itu “egoisme yang positif”
kini kutahu itulah yang kusebut dengan “kecintaan terhadap diri sendiri”

ketika kumulai mencintai diriku sendiri
cukuplah sudah untuk merasa bahwa akulah yang selalu benar
dan merasa seolah hanya membuat sedikit kesalahan
kini kutahu itulah yang kusebut dengan “kerendahan hati”


ketika kumulai mencintai diriku sendiri
telah kutolak untuk terus hidup di masa lalu
dan mulai kupikirkan masa depanku
sekarang aku hidup di masa-masa yang begitu cepat berlalu
dan di masa-masa di mana semuanya terjadi
aku hidup hari ini, setiap hari
dan itulah yang kusebut dengan ‘’kesadaran’’

ketika kumulai mencintai diriku sendiri
kumulai tahu bahwa pikiranku hanya ‘kan membuatku
menderita dan sengsara
namun ketika kusadari adanya kekuatan hati
terbukalah pikiranku.
itulah yang kusebut dengan “kebijaksanaan hati”

kita tak perlu takut lagi akan perselisihan, konflik dan permasalahan
baik antara kita sendiri ataupun dengan orang lain
karena toh bintang-bintang pun terkadang saling bertubrukan
dan menciptakan dunia baru
kini kutahu itulah yang disebut dengan “KEHIDUPAN”


diterjemahkan oleh Dede dari Als ich mich selbst zu lieben begann

23.6.08

Baik

Kebiasan yang baik itu lebih baik daripada hasil yang terbaik...

10.6.08

Menulis

Kata orang, jujurlah saat menulis. Biarkan jemari dan tangan yang bergerak merangkai dan menjalin huruf, kata dan kalimat. Membiarkan pikiran dan rasa tertuang dalam tenunan huruf, kata, dan kalimat.

9.6.08

wah

wah, bagus nih ada blog ini. saya ini orang yang lemah dalam mempelajari bahasa jerman.
butuh sesuatu yang sangat menarik dan einfach untuk menjadi media saya belajar.
semoga posting kedua saya memakai bahasa jerman. kebetulan saya suka menulis, tapi anehnya saya jadi mandul menelurkan tulisan sejak saya masuk sastra. sepertinya hasrat menulis itu hilang. atau mungkin suasana kampus yang tidak mendukung, atau bbm yang semakin melonjak tinggi sehingga membeli 'ballpoint' pun sulit. hah! terkesan tidak nyambung. tapi saya salah satu orang yang berpendapat sama dengan Pramoedia Ananta Toer yang lebih senang menulis dengan kelima jari jemari saya ketimbang dengan teknologi bernama keyboard komputer..
semoga sekarang saya bisa memulai menulis lagi dan semoga bisa menelurkan sebuah karya tulis berbahasa jerman. haha. ich hoffe...

6.6.08

2 D: Herzlichen Glückwünsch

Für Deandra und Dede, herzlichen Glückwünsch für Eure Leistung, die ihr gemacht habt. Deandra ist als "mahasiswa berprestasi" in Fakultas Sastra ausgewählt, mit der ausgezeichneten Benotung für ihr großartiges Selbstvertrauen, ihr Kompetenz bei der Präsentation ihrer Arbeit sowie ihre direkte und weltoffene Diskussion mit den Prüfern. Dede ist als DAAD-Stipendiat für Sommerkurs im August 2008 eingeladen. Er wird einen Monat lang den Sommer in der Goethe-Stadt Weimar verbringen. Seine Schrift hat der Auswahlkommission beeindruckt.
Nicht zuletzt aber möchte ich an allen Kursteilnehmern äußern, dass ich mich sehr stolz auf Euch bin. Und wünsche Euch viel Erfolg nicht nur in den kommenden Prüfungen, sondern natürlich in Eurem ganzen Leben!